Template Pages Link Basis new 1.jpg
 
 

Jatake siang hari. Pabrik-pabrik ramai orang bekerja. Di kejauhan, cerobong-cerobong besar mengepulkan asap, menembus langit siang yang panas terik. Suara tempaan riuh terdengar, bercampur dengan gemuruh mesin-mesin. Truk-truk raksasa hilir mudik, loading, unloading bahan dan hasil produksi. Tiada kesegaran, apalagi kesejukan boleh di sana. Semua terasa kering, gersang dan sesak. Maklum, ini wilayah industri berat, yang memeras keringat, karena tuntutan dinamika kerja yang keras.

Di tengah kekerasan dan kekeringan ini adakah celah, di mana orang bisa menikmati kesegaran? Masih tersediakah ruang, yang bisa mengantarkan orang ke dalam dunia keindahan? Inilah pertanyaan, kegelisahan dan hasrat yang berkecamuk dalam diri seorang Telly Liando, hingga ia akhirnya sampai pada “ide nekad dan gila”: membangun sebuah galeri seni di belakang pabriknya di wilayah industri Jatake itu. Galeri seni itu diberinya nama Ohana.

Dari jalan tempat kendaraan berat lalu lalang, dan pekerja-pekerja pabrik hilir mudik berjalan, rasanya tak terbayangkan akan ada tempat sejuk dan indah seperti Galeri Ohana itu. Setelah memasuki lorong pabrik yang sangat panjang, ada pelataran yang penuh pepohonan dan tanaman segar. Di tengahnya, terlihat rumah adat gaya Manado.

Rumah adat Manado yang didirikan pada tahun 2002 itu adalah bangunan awal Galeri Ohana yang berkembang kemudian. Semula Telly menamakan rumah adat itu sebagai “Rumah Pohon”. Memang, sebagian besar bangunan rumah adat itu terdiri dari kayu. Tiang-tiangnya adalah kayu besi, dan lantainya kayu cempaka. Semua bahan itu didatangkan dari Manado.

Meski sudah lama tinggal di Jakarta, Telly tak pernah terlepas dari Koha, kampung halaman leluhurnya di Manado. Ia sangat mencintai Koha, dan sering pulang ke sana. Waktu itu, ia berpikir, alangkah indahnya bila punya rumah adat dan pelataran sejuk seperti di kampung halamannya.

Maka, sebelum memperluas bangunan pabriknya, ia merelakan sebagian tanahnya di Jatake untuk mewujudkan impiannya. Persis di belakang sebelah kanan pabriknya, ia membuka lahan untuk disuburkan dan dihijaukan. Beberapa pohon rindang di tanam, juga ubi-ubian yang mengingatkannya akan hasil bumi di kampungnya. Untuk makin memperindah, ditanam pula beberapa jenis bunga. Di tengah lahan itu ia membangun rumah adat Manado. “Saya suka sekali ke sini. Apalagi bila sedang suntuk dan jenuh dengan kerja di Jakarta, di sini saya tiba-tiba bisa merasa nyaman dan lega. Setiap kali ke sini, saya seperti pulang ke kampung halaman. Koha yang jauh jadi dekat di depan mata,” kata Telly.

Pelahan-lahan Telly memodifikasi rumah adat itu menjadi kantornya. Bagian bawah rumah adat berbentuk panggung itu diberi dinding kayu dan kaca. Dan di situlah dibuat ruang rapat dan kerja. “Tak terbayangkan, di Jakarta yang metropolitan ini saya boleh mempunyai rumah adat kampung sebagai kantor. Nyaman sekali rasanya bekerja di kantor seperti ini,” kata Telly. Beban pekerjaan tetaplah berat dan keras khas Jakarta. Namun itu semua bisa dihadapi dalam suasana hati yang segar, teduh dan tak terburu-buru seperti di kampung Koha.

Telly adalah seorang kolektor dan pencinta seni. Ia mempunyai lumayan banyak koleksi batu-batuan seni, ukiran kayu dan lukisan. Alangkah baiknya jika semua koleksi itu dipajang dalam sebuah galeri. Pikiran ini terus mengusiknya. “Saya lalu menimbang-nimbang, mengapa saya tidak membangun galeri di sekitar rumah adat ini? Tidakkah menjadi sangat unik bila saya membangun galeri di tengah-tengah kawasan industri berat seperti di Jatake ini?” tutur Telly mengenang kembali pergulatan idenya pada saat itu.

Akhirnya ia sungguh membangun galeri itu. Galeri itu adalah bangunan-bangunan yang mengitari rumah adat Manado. Di dalam galeri itu orang bisa menikmati pelbagai karya seni, dari batu, kayu maupun lukisan-lukisan di atas kanvas. Di luar galeri, di taman sekitar rumah adat Manado, juga diletakkan pelbagai batu-batu alam yang besar, serta berupa-rupa patung yang dipahat dari batu hijau.

Berada dalam suasana rumah adat, galeri dan lingkungan itu, rasanya seperti bukan lagi sedang berada di Jatake yang keras dan berat. Suasana segar lingkungan Galeri Ohana ini serasa sebuah oase segar. Tak hanya kehijauan dan kesegaran, tapi juga kelembutan dan keindahan rasa seni terasa memancar dari oase itu.

Oase itu terbuka bagi siapa pun. Namun, kata Telly, oase itu terutama berguna bagi relasi-relasinya, para pelaku bisnis. Umumnya, para pelaku bisnis apalagi yang seharian sibuk, tak sempat atau kurang menyukai seni. Sesekali Telly mengundang relasi-relasi bisnisnya untuk bertemu atau berapat di rumah pohonnya. Setelah itu ia mengantar dan mempersilahkan mereka untuk menikmati karya seni di galerinya. Siapa tahu, mereka pelahan-lahan tergugah untuk mencintai seni. Pelaku-pelaku bisnis yang sibuk memang tak pernah mempunyai waktu untuk seni, apalagi mengunjungi pameran seni. Di Galeri Ohana, semoga mereka sempat bersentuhan dengan karya seni, sambil tetap menjalankan bisnisnya.

Beberapa relasi bisnisnya memang sempat tersentuh oleh suasana seni itu, dan mengungkapkan, ternyata hidup ini tidak hanya harus berisi dengan kerja, bisnis dan produksi. “Oase Galeri Ohana” itu serasa bisa menjadi sebuah celah, di mana seni boleh tiba-tiba menyeruak menjadi tawaran, bahwa di tengah dunia bisnis dan industri yang seberat dan sekeras apapun masih ada keindahan yang boleh dikenal dan dicintai. Dan siapa tahu, keindahan seni itu boleh menjadikan dunia bisnis, industri dan produksi jadi makin manusiawi pada saatnya nanti.

DCS04336.JPG
DCS04331.JPG

BATU BATU KEHIDUPAN

Telly Liando amat menyukai batu-batu seni. Pada awalnya ia sendiri tidak tahu, mengapa ia alasanya. Ia hanya merasa, batu-batu alam sesungguhnya bukan sekadar batu karena. Bila didalami, batu-batu itu akan memancarkan gambar yang tak terkira indahnya. Ia lalu menuruti perasaan hatinya itu, dan mulai mengoleksi batu-batu.

IMG_9023.JPG
STN-033B.JPG
IMG_9017.JPG

Koleksinya berawal pada tahun 1985. Saat itu ia pergi ke Hongkong, dan berjalan-jalan di areal pertokoan. Ia mampir di toko yang menjual batu-batuan. Ia tertarik pada patung batu berbentuk Jilaihud. Patung itu terpahat dari bakal batu jenis darah ayam. Terpapar di sana seorang Buddha gendut membawa bundaran bola. Pahatan ini tidak meniadakan batu bagian atas, malah bagian itu dihias dengan pahatan. Jadilah seolah-olah Buddha itu menyangga beban yang berat. Namun karena yang berat itu terpahat indah, Buddha tersebut terlihat seperti hanya menyangga awan. Telly merasa, batu ternyata bisa menyediakan alur keindahannya sendiri. Bila mengamatinya, orang akan menemukan keindahan yang tak terduga. Ia merasa batu itu begitu berarti. Apalagi batu itu menggambarkan Jilaihud, Buddha tertawa, yang dalam tradisi orang Cina selalu dianggap sebagai figur pembawa rezeki. Telly lalu membeli pahatan batu darah ayam itu.

Di toko yang sama, ia juga membeli sebuah batu kemerah-merahan yang tembus cahaya berukiran naga. Batu itu menampilkan kontras, karena di lekuknya tertera warna keputih-putihan. Indahnya, secara alami warna putih itu seperti menyunggingkan figur yang mirip Semar. Lebih unik lagi, bagian bawah batu berukir naga itu menyimpan air. Sayang, beberapa tahun kemudian, karena salah waktu mengemas, bagian itu pecah, hingga tiada lagi airnya. Bersama batu Jilaihud, batu bergambar Semar ini menjadi kesayangan Telly. “Kedua batu itulah yang mengantar saya mencintai batu-batu lainnya,” katanya.

Suatu hari, Telly pergi jalan-jalan ke pertokoan Glodok. Ia mampir ke sebuah toko barang antik. Barang-barang di toko itu kelihatan hampir habis. Yang ada tinggal meja sembahyangan dan batu-batu suseiki. Pemiliknya menawarkan, belilah semua batu-batu itu. Karena murah, Telly membeli semuanya. Batu-batu suseiki itu ternyata menarik dan indah. Sampai sekarang batu-batu itu masih menjadi bagian koleksi kesayangannya. “Kebetulan saja bisa memiliki batu-batu suseiki itu. Kalau diingat kembali, ternyata karena kebetulan jugalah saya kemudian mencintai batu-batu dan menjadi kolektornya,” kenang Telly.

Tahun 1990-an keadaan ekonomi dan bisnis di Indonesia sedang sulit. Lumayan banyak pabrik yang terancam krisis. Tak terkecuali, pabrik sepatu Telly dan suaminya, Aming Phang Oesman. Agar tak terlalu stres dengan urusan krisis bisnis, Telly menyempatkan berjalan-jalan di sekitar Jakarta, Banten dan Tangerang, di mana ia bisa mendapatkan batu. Waktu ke luar negeri, ia juga menyempatkan diri mencari batu-batu. Seberapa mampu, ia selalu berusaha untuk membeli batu-batu yang disukainya. Makin banyak batu koleksinya, makin ia merasakan keindahan batu, yang ternyata berupa-rupa. Lebih lagi, keindahan batu-batu itu bisa membuatnya senang, dan memberinya penghiburan, lebih-lebih di kala stress karena bisnis. “Batu-batu itu ternyata bisa melepaskan orang dari stres,” kata Telly.

Di samping aktif mencari sendiri, ia juga menerima orang-orang yang menawarkan batu-batuan padanya. Batu-batu itu ditemukan atau diterimanya dalam bentuk gelondongan. Ia dibantu oleh beberapa orang untuk mengiris kemudian menggarap batu-batu itu. Proses ini tidak mudah, dan berjalan dengan penuh spekulasi. Kadang batu yang dibedah, tidak menyajikan keindahan yang ia bayangkan. Kadang ia menemukan, ternyata batu itu mengandung rupa dan warna yang sangat indah melebihi dugaannya. “Batu ternyata menyimpan surprise. Kita tidak bisa merekayasa keindahannya. Kita tinggal menerima keindahan alam yang diberikan kepada kita,” cerita Telly. Ia merasa diam-diam batu-batunya mengajarkan sesuatu tentang keindahan seni padanya: Seni itu indah bila bisa membukakan keindahan yang tak seluruhnya berasal dari kreasi manusia.

Bersama orang-orangnya, Telly berusaha menampilkan keindahan batu semaksimal mungkin. Ia memotongnya, menggosok dan membersihkannya, sampai bentuknya benar-benar tampak. Sejauh mungkin ia tetap mempertahankan bentuk aslinya. Ia membiarkan begitu saja batu-batu yang tanpa disentuh sudah memancarkan seni keindahannya. Bila dinikmati dalam-dalam, koleksi batu-batuan Telly memang menampilkan keindahan bentuk yang berupa-rupa. Ada yang menampilkan kombinasi warna yang mustahil dicapai oleh keahlian manusia dalam mengkomposisi warna. Ada batu yang tembus cahaya. Banyak batunya yang menginspirasikan keindahan alam, seperti air terjun, pepohonan, padang-padang, dan musim-musim.

Rasanya, batu-batu itu seakan menampilkan alam semesta dalam pelbagai rupa kekayaanya. Batu-batu bagaikan peragaan mini dari rupa-rupa alam semesta yang tak mungkin digambar oleh manusia. Batu koleksi Telly rasanya boleh dinikmati sebagai seni rupa dalam arti tersendiri: seni rupa alam yang autentisitasnya tak bisa dibandingkan dengan seni rupa karya manusia.

Selain batu-batu kecil dan tanggung dalam ruang, Telly juga punya batu-batu besar yang bertebaran di pelataran rumah pohonnya. Batu-batu raksasa sejenis pancawarna itu dibiarkan alami. Ada juga batu-batu hijau yang sudah dipahat menjadi patung. Pematungnya adalah Lek Ji, perupa spesialis batu hijau dari Bantul Yogyakarta. Atas permintaan Telly, batu-batu hijau yang berton-ton beratnya dirupakan menjadi patung Jilaihud pembawa rezeki, Buddha kecil tidur, Limbuk, punakawan lengkap, Semar, Petruk, Gareng dan Bagong, serta Togog dan Bilung. itu semua makin menampakkan dan melengkapi Telly sebagai seorang kolektor khas batu-batuan.

Mengapa seorang perempuan bisa mencintai batu-batu? Tidakkah batu adalah sesuatu yang bersifat keras dan berat, yang kiranya jauh dari naluri lembut yang biasanya melekat pada seorang perempuan? Telly sendiri sering sekejap bingung bila ditanya dengan pertanyaan seperti itu. Namun spontan ia segera bisa memberi jawabnya: Jangan mengira, bahwa dalam batu yang keras itu tak ada kelembutan. Kenyataannya adalah sebaliknya: Kelembutan yang tersembunyi sebagai sesuatu yang indah dalam kekerasan itu. “Dan rupanya hanya kelembutan seorang perempuan pula yang dapat meraba kelembutan yang tersembunyi dalam kekerasan itu,” sambung Telly.

Maka buat Telly, batu itu juga mengajarkan bukan hanya tentang seni tapi juga tentang kehidupan ini : Janganlah kita memutlakkan seakan apa yang kelihatan keras itu sebagai sesuatu yang melulu keras. Sejauh menyangkut hidup, kekerasan itu selalu mengandung kelembutan. Kelembutan itulah yang harus kita temukan. Dan itu hanya mungkin, bila kita menghadapi kekerasan itu dengan hati. Tak heran bila Telly lalu menandai pameran koleksi seninya di Ohana Galeri dengan tema “Batu-batu yang berhati”. Judul itu tak hanya mengenai keindahan dan kelembutan batu-batunya, tapi juga pesan, agar orang mau menaruh hatinya pada kekerasan yang dijumpai dalam hidup ini.

 

KAYU KAYU YANG BERCERITA

Galeri Ohana tak hanya kaya dengan koleksi batu, tapi juga ukir-ukiran akar kayu. Telly bercerita, kedekatannya dengan seni kayu terjadi karena almarhum suaminya. Semasa hidupnya, suaminya, Aming Phang Oesman, mengekspor akar-akar kayu dari Indonesia ke Cina. Di Cina, ia mempunyai bengkel yang membentuk akar-akar kayu raksasa menjadi mebel-mebel meja, kursi atau bangku, yang berukir-ukir. Dalam setiap kali pengiriman, Telly meminta suaminya untuk meninggalkan sebuah akar kayu besar baginya. Waktu itu ia belum mempunyai rencana untuk menggarap akar-akar kayu dengan intens.

Telly Liando

Telly Liando

Setelah suaminya meninggal, orang tetap menyetorkan akar-akar kayu lewat dia. Telly berpikir, ia harus melanjutkan usaha ukir-ukiran mebel itu. Ia pergi ke Cina menjajaki kemungkinan untuk meneruskan usaha itu di Jakarta. Ia sempat meminta pengukir Cina bekerja untuknya. Namun, semuanya jadi sangat mahal. Maka ia memutuskan untuk memakai pengukir lokal saja. Lalu ia mendatangkan beberapa pengukir dari Jepara untuk menjadi asistennya.

Waktu menggarap usaha ukiran mebel akar kayu ini Telly tak berlaku sebagai pedagang tapi sebagai pencipta. Ia tak berpikir, apakah karyanya bakal laku. Yang pokok, ia dapat menuangkan khayalan dan kreasinya dalam usaha itu. Ukurannya bukan pertama-tama, apakah orang akan senang dengan karyanya, tapi apakah ia sendiri puas dengan karyanya. “Sampai kini pun saya belum berpikir tentang laku tidaknya akar-akar ukiran ini,” kata Telly.

Proses mengerjakan kayu lain dengan batu. Dalam pengerjaan batu, ia harus lebih menyerah pada keindahan yang diberikan oleh batu. Ia seperti diminta untuk bersikap lebih pasif, sabar dan reseptif, tinggal menerima apa yang hendak diberikan kekayaan batu-batunya. Dalam pengerjaan kayu, ia boleh lebih aktif dan kreatif menerakan kreasinya pada akar-akar kayunya. Tapi kendati boleh diperlakukan dengan lebih bebas, kayu-kayu seakan tetap meminta, agar bentuk alaminya janganlah “diperkosa” dengan paksa, biarlah tinggal dalam bentuk alaminya, sebisa-bisanya. Itulah yang dipegang Telly dalam menggarap kayu-kayunya.

Telly meminta, agar pengukirnya tidak bekerja sekadar sebagai tukang, yang bekerja secara otomatis dan mekanis. Mereka diminta untuk sebisa-bisanya kreatif dalam mewujudkan ide-ide yang disodorkannya. Telly sendiri selalu mengontrol pekerjaan mereka. Dengan proses ini para pengukir sebenarnya adalah artisan, yang membantu Telly untuk menggarap seni akar kayunya. Tempat kerja mereka dengan demikian bukan sekadar bengkel untuk para tukang, tapi semacam sanggar untuk para artisan. Hal yang sama sebenarnya terjadi pada proses penggarapan seni batu di Galeri Ohana. Maka Galeri Ohana bukanlah sekadar tempat pajang benda-benda seni, tapi juga tempat aktivitas kreasi seni, di mana Telly dan beberapa artisannya berproses dalam suatu kreasi seni seperti yang umumnya terjadi di sanggar-sanggar.

Telly selalu bertolak dari ide dan pengalaman yang sederhana dalam penggarapan seni kayunya. Itu terlihat misalnya dalam akar kayu berukiran buah manggis. Buah manggis adalah buah kesukaannya. Dan pohon-pohon manggis selalu mengingatkan akan Koha, kampung halamannya. Maka ia meminta artisannya untuk mengukirkan buah manggis itu, sehingga akar-akar tampak hidup seperti pohon manggis.

Atau suatu hari, ia melihat pohon jambu monyet. Bayangan ini sekaligus mengingatkan dia akan anak lelakinya, Andrew Bernardus Oesman, yang ber-shio monyet. Ia lalu meminta pada artisannya untuk mengukirkan buah jambu monyet dan monyet-monyet. Ia berpesan, sebisa-bisanya bagian-bagian akar pohon yang tersedia dirupakan dalam bentuk monyet-monyet. Juga, agar dibayangkan sedemikian rupa sehingga akar-akar itu bisa menjadi semacam cabang-cabang pohon jambu monyet. Akhirnya, jadilah sebuah bentuk mebel yang menyerupai pepohonan, di mana bergelantungan monyet-monyet dalam pelbagai gaya dan rupa.

Di rumah, Telly memelihara ikan koi. Ia memang menyukai ikan jenis itu. Maka ia berusaha, bagaimana artisannya bisa mengukir ikan-ikan koi. Kayu adalah materi keras. Bagaimana bisa membuat agar pada bahan yang keras bisa diukirkan suasana kolam yang cari, tempat hidup ikan-ikan koi? Inilah tantangan yang harus dikerjakan oleh artisan kayunya. Telly mengakui, belum tentu karya yang nanti jadi sesuai dengan apa yang digambarkannya. Tapi dalam proses itu sekurang-kurangnya ia boleh menikmati peristiwa berkreasi, di mana orang ditantang untuk mengkombinasikan unsur kehidupan kayu dan air dalam suatu pekerjaan seni.

Dalam koleksi akar-akar kayu itu terbaca rupa-rupa fantasi. Tampak misalnya dalam salah satu karya, cabang-cabang akar yang dijadikan naga-naga, sehingga bahan akar itu menjadi seperti pohon naga. Juga tampak ada akar kayu yang diukiri sedemikian rupa, sehingga muncul sebagai cabang-cabang di mana burung-burung Hong berhinggapan. Ada pula akar kayu yang bentuknya tetap dipertahankan sampai cabangnya yang panjang dan paling lembut, sehingga menjadi sebentuk gajah lengkap dengan belalainya yang panjang. Telly rupanya pengagum kekayaan alam, yang mencoba menuangkan kekagumannya pada akar-akar kayunya. “Saya hanya menuangkan apa yang saya rasakan dalam kayu-kayu itu,” katanya.

Sebenarnya, sama halnya dengan batu, pengerjaan kayu itu bukanlah ringan buat seorang perempuan seperti Telly. Akar-akar itu datang dalam bentuk gelondongan raksasa dan mentah. Dibantu artisannya, Telly harus “menaklukkan” materi itu. Kayu-kayu harus digergaji sampai menemukan bentuk yang diinginkan, lalu dibersihkan, dijemur dan diberi obat anti rayap. Lalu ia menandai dengan spidol bagaimana bagian-bagian kayu itu harus digarap. Seni memang tak boleh menyerah pada tantangan dan kesulitan. Justru tantangan itu akan mematangkannya, bila orang berani menembusnya. Itu bisa terjadi bila orang mempunyai darah seni. Telly kiranya mempunyai darah seni itu, hingga ia selalu senang mengerjakan akar-akar kayunya, tanpa berpikir tentang halangan apa pun. “Sebenarnya, ini memang sebuah ide gila, dari segi waktu, tenaga mau pun biaya. Tapi apa pun halnya, saya sudah mengerjakannya,” ungkap Telly dengan nada lega.

Sekarang seni menggarap akar-akar itu kemudian dilanjutkan anak perempuannya, Stephanie Oesman. Fanny, demikian sapaan Stephanie, juga mempunyai kecintaan mendalam terhadap seni seperti ibunya. Dialah yang sekarang bertanggungjawab untuk mengurus dan menghidupkan Galeri Ohana. Dalam proses pengerjaan seni kayunya, Fanny berusaha mengukirkan kisah pada akar-akar yang dihadapinya. Misalnya, cerita tentang pengelompokan shio-shio manusia, atau cerita tentang sifat-sifat binatang, atau kisah tentang bagaimana harus merawat warisan tradisi, atau kisah tentang kedamaian di desa dan kekerasan hidup di kota. Akar-akar kayu yang digarap Fanny dan artisannya seakan bisa bercerita tentang itu semuanya. Karya kayunya jadi menambah kekayaan koleksi yang telah dibuat oleh ibunya.

 

GALERI, TEMPAT MENYIMPAN HATI

Selain koleksi batu-batu berupa dan akar-akar kayu ukir, Galeri Ohana juga berisi koleksi-koleksi lukisan. Telly mulai mengkoleksi lukisan pada tahun 1988. Pelahan-lahan, ia membeli lukisan yang ia sukai. “Saya mengkoleksi lukisan bukan karena banyaknya uang. Betapa pun sulitnya kondisi keuangan, saya selalu memberanikan diri untuk membeli lukisan, jika saya menyukainya,” katanya.

IMG_8773.JPG


Mulai tahun 2005, ia secara lebih intens berburu lukisan. Sekarang koleksi lukisannya terhitung lumayan banyak. Di galerinya dapat dijumpai karya-karya pelukis ternama seperti Nasirun, Budi Ubrux, Erika, Wayan Tjahya, Melodia dan Lucia Hartini. Juga karya-karya sederet nama lain seperti Budyana, Maman Rahman, Julikodo, Riyanto dan beberapa pelukis muda lainnya.

Karena kecintaannya akan seni lukis, Telly jadi dekat dengan para pelukis. Ia memang mempunyai banyak teman pelukis, khususnya di daerah Yogyakarta. Bila sedang longgar, ia berusaha menyempatkan diri untuk mendatangi peristiwa atau pameran seni, seperti di Bentara Budaya Yogayakarta, Sangkring-Arti Space, atau Omah Petroek-Karang Klethak. Seberapa bisa, ia juga membantu kegiatan beberapa seniman yang sedang mengadakan kegiatan pameran.

Mungkin karena darah seninya, Telly merasa senang bergaul dengan para seniman dan benar-benar menikmatinya. Baginya, pergaulan dengan seniman memberikan kebahagian dan kegembiraan tersendiri. “Dunia seniman adalah dunia yang sama sekali lain daripada dunia yang saya hadapi sehari-hari. Bergaul dengan mereka, saya bisa tertawa lepas, berpikir gila, dan melupakan dunia saya. Demi ide dan kreasinya, para seniman berani mempertaruhkan apa saja. Kesulitan ekonomi tak menjadi halangan bagi mereka untuk bekreasi. Dari dunia mereka saya belajar, tak perlu saya mengkhawatirkan banyak hal dalam hidup ini, juga seandainya kita berada dalam kekurangan. Seniman itu nekad berkarya dan berpameran, walau sedang kekurangan uang. Dari mereka saya belajar, seni kelihatannya tidak perlu dihubungkan dengan sedikit atau banyaknya uang. Karena itu, saya juga memberanikan diri untuk mendirikan ruang seni seperti Galeri Ohana ini,” kata Telly.

“Dunia seniman juga mengajari saya, ternyata seni itu bukan sekadar berkreasi tapi juga menjalin dan hidup dalam pertemanan,” tambahnya lagi. Telly mengalami sendiri, kurang rasanya bagi seorang kolektor seni seperti dia, bila ia hanya puas dengan mengkoleksi karya, tanpa mau dekat dan berteman dengan para seniman, juga bila ia tidak mempunyai koleksi karyanya.

Pertemanan itulah riwayat, mengapa misalnya di Galeri Ohana bisa dijumpai banyak koleksi lukisan perupa Bayu Wardhana. Waktu itu nama Bayu Wardhana belum dikenal dan eksistensinya sebagai perupa belum terlalu diterima. Telly bersahabat baik dengan dia. Pada awalnya, ia belum tergerak untuk mengkoleksi karya Bayu. Namun hatinya tergerak untuk menolong Bayu. Bayu adalah seorang bapak keluarga dengan seorang istri dan delapan anak. Dalam bayangan Telly, betapa berat tanggungjawab yang harus dipikul Bayu untuk menghidupi keluarganya. Maka agar bisa sedikit meringankan beban itu, Telly mulai meminta Bayu untuk melukis baginya.

Telly menyempatkan diri hadir pada ulang tahun Bayu yang ke lima puluh di Omah Petroek, Karang Klethak. Bayu ingin, agar peringatan ulang tahunnya itu menjadi saat kebangkitannya, agar ia makin dikenal di dunia seni rupa. Untuk itu diadakan sebuah pertunjukan seni, Bayu diguyur air untuk menandai tekadnya itu. Bersama dr. Oei Hong Djien, Butet Kartaredjasa, Djokopekik, Ong Hari Wahyu dan teman-teman perupa lain, Telly ikut mengguyurkan air ke Bayu, ikut juga menggunting rambut panjangnya dan menyemangati, agar Bayu bisa mewujudkan tekadnya menjadi perupa on the spot yang semoga akan mempunyai nama.

Setelah itu Telly membantu Bayu agar ia bisa melukis on the spot di beberapa tempat, seperti Bali, Manado, dan Jakarta. Ia juga sering meminta Bayu tinggal di Jatake atau di salah satu rumahnya di Jakarta, agar ia bisa intensif melukis. Pada salah satu kesempatan, Telly minta Bayu secara khusus melukis situs-situs dan bangunan-bangunan zaman Batavia. Tentu peninggalan bersejarah itu dilukis Bayu dengan gaya, cara dan pewarnaan sesuai dengan ciri khasnya sebagai pelukis on the spot, yang hidup di zaman ini.  Maka jadilah sederet koleksi lukisan, di mana orang bisa mengenang peninggalan zaman Batavia dengan ekspresi dan warna yang bisa dinikmati dengan selera zaman ini.

Telly punya lumayan banyak koleksi lukisan Bayu. Koleksi-koleksi itu kiranya berguna sebagai dokumentasi proses perkembangan karya Bayu, mulai dari awal sampai ia menjadi makin matang sebagai pelukis on the spot. Pada koleksi itu orang akan mengetahui, bahwa sukses seorang pelukis memang harus dimulai dari nol, tidak tiba-tiba turun dari langit. Di sinilah pentingnya peran seorang kolektor, yang mau dengan sabar menemani proses perkembangan itu. Umumnya, kolektor lebih suka mengkoleksi karya pelukis yang sudah matang dan jadi. Telly sendiri mengakui, mungkin ia tidak akan melakukan seperti yang ia buat sampai sekarang, jika bukan pada awalnya ia lebih ingin menolong Bayu dan keluarganya daripada mengoleksi lukisannya. “Bayu sekarang sudah terkenal. Ia dipanggil ke sana-sini untuk melukis. Tentu saya ikut senang. Dan semoga ia makin sukses sebagai pelukis on the spot,” kata Telly. Telly bersyukur, Bayu Wardhana telah bisa mengadakan pameran tunggal yang diselenggarakan besar-besaran di Taman Budaya Yogyakarta, dua tahun lalu. Waktu itu bersama dengan dr. Oei Hong Djien dan Agung Tobing, Telly diminta membuka pameran, yang menandai puncak perjalanan seni Bayu Wardhana.

Sekarang koleksi lukisan Bayu Wardhana milik Telly seakan adalah saksi yang bicara, bahwa Galeri Ohana bukan sekedar tempat koleksi seni, tapi juga tempat di mana pertemanan dan kemurahan hati tersimpan. Yang terakhir ini kiranya adalah nilai tersendiri, yang memang harus terus dirawat dalam dunia seni, hingga seni bisa bercerita bukan hanya tentang keindahan dan kreasi, tapi juga tentang peristiwa kemanusiaan.

Telly sadar, koleksinya akan terus hidup bila dirawat dengan memberi hati. Hal itulah yang mendorong Telly benar-benar memperhatikan karyawan-karyawannya. Di tengah kesulitan apapun, ia tetap mempertahankan mereka. Ia menganggap mereka bagian penting yang menyangga keberadaan dan kehidupan barang-barang seni dalam galerinya. Mereka adalah anggota keluarga dari galerinya. Tak kebetulan rasanya, jika kemudian galerinya diberinya nama Ohana, bahasa Hawai yang artinya keluarga.

Jelas Galeri Ohana lebih dari sekadar galeri seni. Di dalam Galeri Ohana tersimpan hati Telly. Maka galeri itu bukan saja oase segar di tengah kekerasan dunia industri wilayah Jatake. Galeri itu juga oase yang menyejukkan hati Telly sendiri. Ia tak ingin memiliki sendiri kesejukan itu. Ia ingin memberikan kesejukan itu pada siapa saja yang datang ke galerinya. Memang, menikmati segala keramahan dan kehidupan seni yang ada di Galeri Ohana, kita seperti merasa sedang tak berada di kawasan industri yang keras.  Di sana, kita serasa boleh sejenak beristirahat di sebuah oase seni dan keindahan, yang memberikan kesegaran dan kesejukan, yang melepaskan kita dari banyak beban pikiran, kepenatan dan kejenuhan hidup dan kerja kita sehari-hari.